Jawab Faktor Pemicu, Kondisi Kerentanan Akibat Perubahan Iklim, ICRAF dan BAPPELITBANGDA NTT Gelar LokaLatih ll

NTT, media Indonesia menyapa.com
Pemerintah Provinsi NTT melalui Badan Perencanaan pembangunan penelitian dan pengembangan Daerah ( BAPPELITBANGDA) bersama International Centre for Research in Agroforestry atau disingkat ICRAF, salah satu lembaga penelitian menggelar fasilitasi LokaLatih ll tentang kajian penilaian kerentanan dan langkah peningkatan ketahanan terhadap perubahan iklim Provinsi NTT yang berlangsung di Hotel Harper pada Selasa (19/03/2024).

Kegiatan tersebut dihadiri oleh para peneliti handal dari berbagai lembaga partnership di NTT antara lain unsur Forkompinda NTT, Pengusaha , Asosiasi, mitra perempuan, beberapa Stackhoulder dan lembaga swasta lainnya.

Digelar kegiatan LokaLatih untuk mendapatkan suatu kebijakan terkait kerendahan dan langkah untuk peningkatan ketahanan terhadap perubahan iklim dimana perubahan iklim saat ini menjadi sesuatu yang perlu dan diperhitungkan , terutama karena dampaknya telah mulai terasa khususnya pada orang-orang yang menggantungkan sumber penghidupannya terhadap sektor pertanian.

Selain itu juga tujuan dari kegiatan Lokalatih adalah untuk meningkatkan kapasitas pendugaan dan kajian kerentanan perubahan iklim dalam
penyusunan perencanaan pertumbuhan ekonomi hijau.
Dan juga melakukan kajian bersama mengenai strategi dan intervensi yang responsif gender untuk
menjawab faktor pemicu, tekanan, serta kondisi kerentanan yang berdampak akibat
perubahan iklim

Menurut Arga Pandiwijaya pemateri dari Icraf, Antisipasi dampak dari perubahan iklim perlu dilakukan terutama untuk mengurangi kerentanan masyarakat yang memiliki modal penghidupan yang terbatas. Petani dan masyarakat yang tinggal di pedesaan adalah di antara yang cukup rentan terdampak negatif dari adanya perubahan iklim.

“Mereka butuh sistem penyangga dan kapasitas adaptif yang memadai untuk mempertahankan sumber penghidupannya pada kondisi jika ada kejadian luar biasa terkait dengan perubahan iklim. Selain terdampak dari perubahan iklim, petani dan masyarakat pedesaan juga cukup rentan terpapar risiko-risiko yang terkait dengan adanya perubahan,” Jelas Arga.

Menurut Arga, Degradasi lingkungan yang terus berlanjut di Indonesia telah mempengaruhi 50-60 juta orang Indonesia yang bergantung pada ekosistem alami untuk mata pencaharian dan ketahanan pangan mereka. Selain itu, perubahan iklim yang diproyeksikan akan memengaruhi produktivitas pertanian, memberikan dampak serius pada petani kecil yang bergantung pada tanaman subsisten dan komersial.

Sesuai dengan rumusan latar belakang Kegiatan, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan ICRAF Indonesia telah memulai proses penyusunan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim dan Langkah-langkah yang diperlukan didalam meningkatkan ketahanan penghidupan terhadap dampak perubahan iklimmelalui kegiatan lokalatih I pada bulan November 2023.Sebagai tindak lanjut dari kegiatan tersebut, ICRAF Indonesia bersama pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur akan menyelenggarakan lanjutan lokalatih ke-II mengenai perumusan upaya berupapenyusunan strategi serta langkah yang dapat dilakukan dalam merespon kerentanan perubahan iklim yang merupakan halpenting untuk dirumuskan bersama dengan berbagai pihakdi Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Pada kesempatan tersebut, Salah satu Peneliti Dr. Ir. Tony Basuki dari BRIN menanggapi terkait kajian tentang bentuk kerentanan dan langkah peningkatan ketahanan terhadap perubahan iklim di NTT.

Tony Basuki menyampaikan bahwa kepadatan penduduk yang rendah tidak bisa disebut sebagai suatu kerentanan karena itu perlu ada di buat karateristik kerentanan sehingga ada spesifikasi dalam mengklasterisasikan.

Tony Basuki menambahkan, harus nya dalam sebuah karateristik khas dari sebuah kerentanan, contoh nya gizi buruk ada dalam semua klaster dan ini sudah di sebuah kerentanan.

” Perlu adanya spesifikasi dalam mengkarateristik sebuah kerentanan, seperti masalah gizi buruk agar ada spesifikasi kerentanan,” Pungkas Tony Basuki. ( CP).

Komentar