Oleh : Darius Antonius Kian
Kupang, Media indonesia menyapa.com
PENGANTAR.
1. Menghantarkan pembaca untuk memasuki substansi materi yang akan dibahas mengenai topik di atas, terlebih dahulu penulis secara sederhana menguraikan apa itu asimilasi yang kemudian diterapkan dalam proses pemasyarakatan di Indonesia. Asimilasi berasal dari bahasa latin yakni asimilare yang memiliki arti ‘menjadi sama’.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan asimilasi sebagai penyesuaian ‘pleburan’ sifat asli yang dimiliki dengan sifat lingkungan sekitar. Biasanya ditandai dengan upaya-upaya guna mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara perorangan ataupun kelompok manusia dalam hal ini narapidana. Antara individu maupun kelompok melebur satu sama lain dalam proses ‘pleburan’ ini terjadi pertukaran unsur budaya.
Secara normatif asimilasi dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1995 tentang permasyarakatan ialah proses pembinaan narapidana dan anak didik permasyarakatan yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak didik permasyarakatan dalam kehidupan masyarakat.
Memperdalam definisi menurut KBBI dan UU Nomor 12 Tahun 1995 di atas, penulis mencoba untuk mengutip pendapat Soerjono Soekanto. Menurut Soerjono Soekanto asimilasi ialah suatu proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama.
Dalam pemaknaan yang lebih luas, asimilasi sangat menyangkut banyak dimensi kehidupan, atau berbagai bentuk proses sosial yang menyangkut baik kelompok mayoritas maupun minoritas, antara lain asimilasi kebudayaan (akulturasi) yang bertalian dengan pola kebudayaan guna penyesuaian diri, asimilasi struktural yang bertalian dengan masuknya golongan minoritas secara besar-besaran dalam kelompok-kelompok dan pranata-pranata.
PEMBAHASAN.
2. Asimilasi Bagi Narapidana
Apabila dihubungkan dengan narapidana, maka tatkala seseorang mendapatkan asimilasi ke dalam suatu kelompok masyarakat maka seyogyanya orang tersebut tidak lagi membedakan dirinya atau dibedakan dengan kelompok masyarakat di mana ia meleburkan diri. Hal ini dimaksudkan agar orang tersebut tidak dianggap sebagai orang asing oleh kelompok di mana ia meleburkan diri.
Dalam perspektif ini, semestinya batas antara kelompok-kelompok masyarakat akan hilang dan melebur menjadi satu kesatuan. Intinya ialah peleburan akan memunculkan pengembangan sikap yang sama antara narapidana dan masyarakat, walaupun kadangkala unsur emosional akan kental tentunya dalam hal pelaksanaan asimilasi mencapai ke tahapan integrasi dalam organisasi masyarakat yang akan nyata, mulai dari pikiran individu sampai nampak dalam tindakannya baik secara individu maupun berkelompok.
Menyikapi pandemic covid-19, Kementrian Hukum dan HAM mengeluarkan Permenkum-HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Corona. yang kemudian menjadi perdebatan pro-kontra. Di satu sisi tujuan kebijakan ini sesungguhnya didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan semata, bahwa ditakutkan wabah ini akan menyebar pesat oleh karena adanya overcrowded pada hampir seluruh rutan dan lapas di seluruh Indonesia. Sementara di sisi lain, ditakutkan para tahanan yang mendapatkan asimilasi melakukan perbuatan pidana lagi setelah meleburkan diri dengan masyarakat.
Dalam Permenkumham itu, asimilasi diberikan untuk narapidana yang melakukan tindak pidana selain tindak pidana terorisme, narkotika psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi, warga negara asing.
Ketentuan mengenai asimilasi dan syaratnya tertuang dalam Pasal 2, ayat (1) Asimilasi Narapidana dilaksanakan di rumah dengan pembimbingan dan pengawasan Bapas. Ayat (2) Narapidana yang dapat diberikan Asimilasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir;
aktif mengikuti program pembinaan dengan baik; dan
telah menjalani ½ (satu per dua) masa pidana.
Pandangan Kriminologi Terhadap Narapidana Asimilasi
Bertitiktolak dari pengantar sederhana sebagaimana dikemukakan di atas, maka ketika seorang narapidana meleburkan dirinya dengan kelompok masyarakat sebagai bentuk asimilasi, saat itulah akan terjadi berbagai bentuk penilaian yang berasal dari berbagai bentuk sudut pandang. Bahkan penilaian itu tidak hanya datang dari kelompok masyarakat di mana narapidana itu akan meleburkan diri, tetapi bahkan penilaian itu datangnya dari diri sendiri.
Secara psikologis, tidak jarang seseorang melakukan penilaian terhadap diri sendiri. Penilaian itulah yang akan melahirkan stigma atau cap atau label. Tatkala penilaian itu datang dari diri sendiri, maka itu dapat disebut sebagai stigma atau anggapan terhadap diri sendiri. Anggapan terhadap diri sendiri ini, bisa bersifat positif maupun juga negatif. Apabila anggapan terhadap diri sendiri itu bersifat positif, justeru itulah yang secara sosiologis diharapkan sebagai bentuk peleburan kembali seorang narapidana untuk menyatu dengan masyarakat pada umumnya.
Akan tetapi, akan membawa dampak tersendiri apabila anggapan terhadap diri sendiri itu diperkuat dengan anggapan/cap/stigma negatif dari luar diri, dalam hal ini dari masyarakat. Sekalipun seorang mantan narapidana sudah menjalani proses pemasyarakatan, akan tetapi tidak selamanya pandangan masyarakat umum terhadap dirinya tidak dengan serta-merta bersifat positif. Bahkan, masyarakat umum oleh karena dorongan trauma sosial akan kejahatan, akan selalu ‘waspada’ dengan setiap orang yang pernah melakukan perbuatan jahat, apalagi sampai dikenai pidana dan harus menjalani pidana itu di rumah tahanan ataupun lembaga pemasyarakatan.
Sikap ‘waspada’ inilah yang akan kemudian melahirkan stigma/cap/label negatif terhadap seseorang. Dalam perspektif psikologi, kondisi ini dikembalikan kepada penerima stigma. Apakah akan menolak stigma itu dan tetap berupaya meleburkan diri dengan masyarakat, ataukah akan menerima dan melaksanakan stigma itu.
Kecenderungan yang terjadi menurut pandangan kriminologi, lebih banyak mantan narapidana itu menerima dan melaksanakan stigma itu, yang pada akhirnya menghantarkannya pada pengulangan kejahatan.
Inilah sesungguhnya fenomena yang terjadi saat ini, yang kemudian melahirkan pro-kontra terhadap pelepasan narapidana asimilasi di tengah pandemic covid-19 ini.
Pandangan Kriminologi dari Beberapa
TEORI.
3. Teori Differential Association
Dalam memformulasikan teori ini, Sutherland mengangkat 3 (tiga) pokok teori dari mashab Chicago, yakni teori ekologi dan transmisi budaya, teori interaksionis simbolik dan teori konflik budaya. Pada kesempatan ini, izinkan penulis untuk tidak mengurai ketiga teori ini, tetapi fokus pada pengembangannya sampai pada lahirnya teori differential association.
Dalam edisi kedua bukunya “Principle of Criminology”, Sutherland menyatakan bahwa pertama, setiap orang dilatih untuk mengadopsi dan mengikuti setiap pola perilaku yang ia dapat lakukan. Keuda, gagal untuk mengikuti pola yang diharuskan berkaitan dengan inkonsistensitas dan kekurangmampuan mengharmonisasikan pengaruh-pengaruh langsung pada seseorang. Ketiga, konflik budaya kemudian merupakan prinsip fundamental dalam upaya penjelasan tentang kejahatan. Pernyataan inilah yang kemudian menjadi dasar teori Differential Association.
Versi terakhir dari differential association yang diusulkan oleh Sutherland berjumlah 9 (Sembilan) proposisi:
Perilaku kejahatan dipelajari,
Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi seseorang dengan orang lain dalam proses komunikasi,
Bagian terpenting dalam proses belajar itu terjadi dalam kelompok personal yang intim,
Ketika perilaku kejahatan dipelajari, pembelajaran itu termasuk di dalamnya (a) Teknik melakukan kejahatan yang kadang sangat kompleks, dan kadang sangat sederhana, (b) motif, dorongan, rasionalisasi dan sikap.
Secara khusus motif dan dorongan dipelajari dari pendefinisian norma-norma hukum sebagai hal yang menguntungkan atau sebaliknya.
Seseorang menjadi pelaku kejahatan karena ekses pendefinisian perilaku kejahatan itu dilihat sebagai hal yang menyenangkan, bukannya sebaliknya,
Differential association terbentuk secara bervariasi, tergantung pada frekuensi, jangka waktu, prioritas dan intensitas
Proses belajar perilaku kejahatan melalui asosiasi dengan pola-pola criminal dan anticriminal yang melibatkan semua mekanisme yang terlingkupi dalam proses belajar itu,
Perilaku kejahatan sebagai perwujudan kebutuhan dan nilai-nilai umum tidak dijelaskan oleh kebutuhan dan nilai-nilai yang mana, sejauh perilaku nonkriminal merupakan perwujudan dari kebutuhan dan nilai-nilai yang sama.
TEORI ANOMIE
4. Istilah Anomie, dipergunakan oleh Emile Durkheim untuk memaparkan keadaan “ketidakteraturan” yang terjadi dalam masyarakat. Artinya bahwa bagaimana org harus berperilaku terhadap yang lain telah meredup, dan orang tidak lagi tahu apa yang harus diperbuat.
Istilah Anomie juga digunakan untuk menunjukkan keadaan moral yang kacau, dimana orang tidak lagi memiliki kontrol moral atas perilakunya. Anomie kemudian dipahami sebagai meredupnya norma-norma sosial dan keadaan dimana norma-norma itu tidak lagi mampu mengawasi kegiatan setiap individu sebagai anggota masyarakat.
Robert K. Merton memandang teori anomie sebagai perilaku penyimpangan yang tidak hanya terfokus pada kriminalitas saja, akan tetapi pada perilaku lain. Misalnya persaingan dalam kesempatan yang sama untuk meraih keberhasilan. Dalam perspektif ini, goals (tujuan) diraih melalui means (cara)
TEORI LABEL
5. Kebanyakan ahli kriminologi menghubungkannya dengan buku “Crime and the Community” karangan Frank Tanenbaum (1938) yang memformulasikan bahwa kejahatan bukanlah produk dari kesenjangan pelaku penyimpangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat, melainkan ia secara faktual dinyatakan sebagai pelaku penyimpangan atas dasar penilaian (pencelaan) dari kelompok tertentu dalam masyarakat.
Teori Label secara dominan menunjukkan cirinya sebagai teori yang menekankan pada proses karena teori ini memusatkan perhatiannya pada cara-cara bagaimana pelabelan itu berlangsung. Teori Label sesungguhnya merupakan kombinasi dari berbagai teori yang bersumber pada simbolis interaksionis. Di dalam teori itu, paling tidak terdapat 2 (dua) kunci utama: pertama, adanya konsep reaksi sosial, dimana komponen ini melihat masalah perbedaan pemberian rekasi pada perilaku penyimpangan dan terfokus pada makna perilaku penyimpangan bagi masyarakat sekitar pelaku; kedua, soal bagaimana seseorang penerima stigma mengartikannya, kemudian melaksanakannya atau tidak.
Ada 2 (dua) cara dalam hal pemberian cap yang memunculkan perilaku menyimpang bagi seseorang:
Label dapat menjadi perhatian masyarakat dan kemudian mendorong masyarakat untuk mengawasi, yang memberi dampak berkelanjutan bagi seseorang,
Label dapat terinternalisasikan pada diri seseorang penyandang label dan membimbingnya untuk menerima konsep pelaku penyimpangan dalam diri si pelaku. (Wilkins, 1965 dalam Paulus Hadisuprapto 2011:78-79)
TEORI KONTROL SOSIAL
6.Teori kontrol sosial dikembangkan di Amerika Serikat dan untuk pertama kali disistematisasi oleh Hirschi (1972). Salah satu alasan penting munculnya teori ini adalah bahwa pada hakikatnya hubungan manusia dan kejahatan sebagai sesuatu yang alamiah. Tiap manusia memiliki kebutuhan, keinginan dan aspirasi yang masing-masing adalah netral: cara bagaimana orang berusaha mencapai kebutuhan, keinginan dan aspirasi dapat saja ditempuh melalui cara kriminal. Untuk itu, harus ada sarana yang mengontrol sifat alamiah dalam diri manusia.
Selain dari diri sendiri (moral), kontrol sosial juga dapat diadakan melalui kaidah dan aturan-aturan kehidupan dalam masyarakat untuk memelihara tertib moral dalam masyarakat. Dengan demikian, moral pada setiap manusia dipandang sebagai sarana kontrol dalam bertingkah-laku. Selain itu, kontrol juga berasal dari luar dirinya, yakni berasal dari komunitas sosial dan lingkungan manusia.
Teori Interaksionis
7. Hal yang sangat menarik dalam teori sosial adalah bahwa persoalan hubungan masyarakat dengan individu adalah bagaimana masyarakat itu membentuk seseorang, dan sebaliknya bagaimana individu itu dapat mempertahankan dirinya untuk diterima dalam komunitas masyarakat. Terhadap pertanyaan itu, Marx, Durkheim, Spencer dan ahli lainnya mempelajari proses interaksi sosial dan konsekuensinya terhadap masyarakat dan individu. Dan yang cukup berkesan adalah telaah George Simmel seorang sosiolog Eropa terhadap interaksi yang disebut dengan “sosiabilitas” yang lebih jauh mencakup relasi antara individu dan masyarakat.
PENUTUP
Demikian telaah terhadap pro-kontra pelepasan narapidana asimilasi di tengah covid-19 dari perspektif kriminologi. Telaah sederhana ini diharapkan menghantarkan kita untuk saling bersinergi dalam kerangka pembaharuan hukum ke depan. Semoga!
Daftar Pustaka
Bonger, W. A.; Pengantar Tentang Kriminologi; Ghalia Indonesia; Jakarta; 1982
Darmawan, M. Kemal; Materi Pokok Teori Kriminologi; Universitas Terbuka; Tangerang Selatan; 2020
Hadisuprapto, Paulus; Teori Kriminologi, Latar Belakang Intelektual dan Parameternya; Selaras; Malang; 2011. Kurnianingrum, Trias Palupi;
Kontroversi Pembebasan Narapidana di Tengah Pandemi Covid-19; Info Singkat, Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual dan Strategis; Vol.XII, No. 8/II/Puslit/April/2020; Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI; Jakarta
Nur Fitriatus Shalihah; Mengapa Napi Asimilasi Kembai Berbuat Kriminal;
Muchlas Rastra Samara Muksin, Artikel Lepas, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Undip
Vitalio, Casiano dan Ronaldo C. P. Turnip; Kacamata Driyarkara: Melawan Corona, Menilik Pembebasan Narapidana; Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Kabinet Solidaritas Aksi
Disampaikan dalam Webinar Nasional Daring/Online dengan tema: Pro dan Kontra Terpidana Asimilasi di Tengah Covid-19 yang diselenggarakan oleh Universitas Putera Batam Dosen Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, Kupang-NTT. (* Red),